gravatar

Mini review : Lensa Nikkor AF-S 55-200mm DX VR

Kali ini saya sajikan review lensa tele-zoom dari Nikon yang populer baik karena harganya dan juga karena kualitas optiknya, yaitu Nikkor 55-200mm VR. Seakan menjadi kado di awal tahun 2009, saya dapat membeli lensa ini dengan harga spesial di toko camzone sebagai bentuk dukungan toko tersebut dalam memajukan blog ini.

Nikon D40 + AF-S 55-200VR
Nikon D40 + AF-S 55-200VR

           Nama lengkap lensa ini cukup panjang : AF-S DX VR Zoom-NIKKOR 55-200mm f/4-5.6G IF-ED, jangan tertukar dengan lensa sejenis yang versi lama (non VR) yang harganya lumayan terpaut banyak. Saya menjadikan lensa ini sebagai pelengkap dari lensa kit 18-55mm yang selama setahun ini selalu setia menemani Nikon D40 saya. Dengan duet-maut ini (dobel lensa 18-55mm dan 55-200mm) saya bisa mendapat rentang populer 18-200mm (setara 28-300mm) tanpa harus memiliki lensa Nikon 18-200mm VR yang berat itu (baik dalam bobot dan harganya).
Kebanyakan pembeli DSLR (pemula) yang paket dengan lensa kit memang pada akhirnya akan cenderung untuk membeli satu lensa tele ekonomis, seperti halnya seperti apa yang saya lakukan kali ini. Alasan utamanya adalah karena rentang lensa kit yang hanya ‘mentok’ di 55mm terasa amat kurang dalam menjangkau area yang jauh. Dengan memiliki lensa tele yang punya panjang fokal di 55-200mm (yang setara dengan 85-300mm – atau 3,6x zoom), sudah dapat dipenuhi beberapa kebutuhan fotografi tele seperti isolasi objek dalam foto potret, atau juga foto outdoor seperti satwa dan momen olahraga. Khusus pemakai DSLR Nikon, pilihan lensa tele ekonomis 55-200mm tidak hanya dari lensa buatan Nikon saja, melainkan juga tersedia lensa 55-200mm buatan Sigma dan Tamron. Dengan harga yang cuma terpaut sedikit, saya tidak merekomendasikan lensa 55-200mm selain dari lensa Nikon.
Kita mulai dari harga lensanya. Dengan kurs dolar sekarang, lensa buatan tahun 2007 kini dijual sekitar hampir 2,5 juta rupiah. Apa yang anda harapkan dari lensa seharga 2,5 juta ini? Melihat harga lensa Nikon 70-200mm yang mencapai belasan juta, dan melihat harga lensa Nikon 70-300mm di atas 5 jutaan, wajar kalau anda bakal meragukan kualitas dari si mungil ini. Tapi jangan salah, dibalik harganya yang murah, lensa ini punya banyak wow-factor yang semestinya dijumpai pada lensa kelas mahal. Inilah dia :....

  • VR : inilah alasan utama saya memilih lensa ini (daripada versi 55-200mm non VR). Lensa tele tanpa stabilizer (seperti Sigma 55-200mm atau Tamron 55-200mm) tidak akan bisa dipakai secara maksimal.
  • ED : elemen lensa mahal yang berguna untuk menjaga ketajaman (meski hanya ada satu lensa ED, dibanding dengan 2 lensa ED pada lensa AF-S 55-200mm non VR).
  • AF-S : artinya bisa auto fokus di D40, D40x dan D60. Lebih penting lagi, AF-S artinya memakai motor mikro SWM di dalam lensa sehingga kerja auto fokus terasa amat halus, cepat dan akurat. Bandingkan dengan lensa 55-250mm (atau bahkan 18-200mm) dari Canon yang tidak dilengkapi dengan motor USM.
  • IF : proses fokus tidak memutar atau memaju-mundurkan elemen depan lensa, melainkan sepenuhnya proses putaran fokus terjadi di dalam lensa. Mau pasang filter CPL? Bisa..
  • SIC : coating khusus untuk mencegah flare dan ghosting, lumayan lah daripada tidak ada
  • Banyak bonus : lens cap, rear lens cap, soft pouch dan lens-hood (ya, tidak perlu beli lens hood lagi…)
Tentu saja untuk membuat lensa semurah ini ada beberapa ‘penyesuaian’ yang harus dilakukan oleh Nikon, dan inilah hal-hal yang menjadi kompromi guna menekan harga jualnya :
  • bukaan maksimal f/4-f/5.6, jelas bukan tergolong lensa cepat (anda tidak berharap lensa semungil ini punya bukaan konstan f/2.8 kan?)
  • format DX (pemakai kamera format FX tidak mungkin melirik lensa ini…)
  • mounting dan barrel lensa plastik (ringan, sama seperti lensa kit 18-55mm dan lensa 18-135mm)
  • tanpa ring pengatur diafrgama (ditandai dengan kode huruf G)
  • tanpa jendela informasi jarak fokus
  • AF-S tidak bisa instant manual focus override, ditambah dengan jenis motor SWM yang tidak sebagus lensa Nikon yang lebih mahal
  • VR tidak untuk panning (tidak seperti VR generasi II)
  • 7-blades diafrgama (padahal versi non VR punya 9-blades)
Sebelum memulai review, simak dulu spesifikasi dasar dari lensa 55-200mm ini :
  • elemen lensa : 15 lensa dalam 11 grup
  • ukuran filter : 52mm
  • bukaan minimum : f/22 (wide) hingga f/32 (tele)
  • min. focus distance : 1.1 meter (1:4.3 max. reproduction ratio)
  • bobot : hanya 335 gram
Baiklah kita mulai saja review lensa ini, dimulai dari sekilas pandang.
nikon-af-s-55-200-f4-56-vr
Inilah lensa Nikon 55-200mm, pada foto diatas tampak tiga macam posisi lensa. Pada foto sebelah kiri tampak posisi lensa di 55mm (zoom out), tidak tampak ada elemen lensa yang menonjol, artinya lensa berada pada posisi terpendeknya. Pada foto tengah tampak lensa berada di posisi 200mm (zoom in), elemen lensa menonjol keluar dan lensa menjadi tampak jadi lebih panjang. Gambar ketiga foto sebelah kanan menunjukkan lensa yang sudah dilengkapi dengan hood (yang disertakan dalam paket penjualan).
Build quality
Banyak reviewer luar negeri yang mengeluhkan build quality dari lensa ini. Mereka umumnya membandingkan kualitas rancang-bangun lensa ini dengan lensa Nikon lain yang jauh lebih mahal, yang barrel dan mountingnya terbuat dari logam. Sejujurnya saya merasa meski lensa ini berbahan material plastik, namun kesan kokoh dan solid sedikit banyak masih dapat saya rasakan.  Putaran zoom terasa ringan namun mantap, sepintas tidak berbeda dengan lensa kit. Namun yang membedakan adalah zoom ring pada lensa ini terasa lebih nyaman berkat grip yang lebih lebar dengan lapisan karet yang lembut. Ring manual fokus seperti halnya pada lensa kit, amat kecil dan berada terlalu ke depan. Lensa ini memang bukan untuk mereka yang menyukai manual fokus, karena ring manual fokus di lensa ini tidak presisi dan memakainya pun repot (karena harus menggeser tuas A-M dahulu). Untungnya saat proses auto fokusing, tidak ada elemen lensa yang maju mundur dan berputar (seperti pada lensa kit).
Vibration Reduction/VR
Lensa tele ini memang dilengkapi dengan stabilizer pada lensa yaitu VR, dan terdapat tuas pada lensa untuk mengaktifkan VR ini. Saat kamera berada di tripod,VR disarankan untuk dinonaktifkan. Pada saat tuas VR di posisi on, apabila tombol rana  ditekan setengah, maka sistem VR akan mulai bekerja. Terdengar suara halus dari dalam lensa sebagai tanda bahwa sistem VR mulai bekerja menstabilkan gambar. Karena sistem VR pada lensa bisa langsung di preview di viewfinder, maka kita bisa melihat efek stabilisasi sebelum foto diambil (suatu hal yang tidak bisa dilakukan oleh DSLR dengan sistem stabilizer pada bodi). VR diklaim oleh Nikon efektif bekerja hingga 3 stop, meski dalam kondisi nyata hasilnya bisa bervariasi. Sistem VR di lensa ini adalah VR jenis lama, dimana VR ini tidak cukup cerdas untuk mengenali gerakan panning sehingga disarankan saat panning VR dimatikan saja.
Perlu dicatat bahwa mengingat lensa ini punya rentang tele 55-200mm (setara 85-300mm), maka pada nilai shutter rendah fungsi VR pun kadang tidak berhasil. Ingat, di posisi 200mm dibutuhkan shutter 1/200 detik tanpa stabilizer untuk mendapat foto yang bebas blur. Sedikit saja getaran tangan saat memotet pakai fokal tele akan membuat semuanya menjadi runyam…
Saya menguji efektifitas VR pada lensa ini dengan memotret sebuah benda dengan posisi fokal lensa di 100mm, dengan shutter saya atur di 1/20 detik. Dengan mengacu pada teori klasik maka semestinya saya perlu shutter secepat 1/100 detik untuk fokal 100mm (tanpa stabilizer). Terbukti saat VR di posisi off, memotret memakai speed 1/20 detik hanya akan menghasilkan gambar yang blur karena handshake. Saya lalu mencoba mengaktifkan VR dan mengulang pengujian dengan fokal dan speed yang sama. Hasilnya, VR berhasil menjaga gambar tetap tajam pada 1/20 detik, atau bisa pakai shutter lebih lambat (sekitar 2 stop) dari speed yang disarankan. Namun untuk membantu kerja VR, disarankan untuk memotret dengan stabil, tenang, posisi diam dan bila perlu disertai menahan nafas sejenak. Bila anda masih bergerak lalu memotret bahkan VR pun bisa gagal dalam menstabilkan gambar.
AF-S, SWM dan auto fokus
Kinerja auto fokus  dari motor SWM di lensa ini cukup pas-pasan. Betul kalau suara motor micro ini terdengar halus, namun urusan kecepatan fokus memang bukan andalan utama lensa ini. Motor SWM di lensa ini bukan motor kelas atas seperti lensa AF-S lain yang lebih mahal, sehingga dibutuhkan kesabaran menunggu kamera mendapat fokus yang tepat (dan kadang sesekali kamera harus mengulang proses AF karena kesulitan mengunci fokus). Saya akui soal ini juga tak lepas dari keterbatasan kamera D40 yang cuma punya 3 titik AF, namun saat D40 saya dipasangkan dengan lensa 24-70mm, saya rasakan kecepatan fokus lensa full frame itu luar biasa cepat. Maka itu bila ingin lensa yang bisa memotret momen olah raga yang serba cepat, minimal gunakan lensa AF-S 70-300mm saja atau bahkan lensa AF-S 70-200mm.
Seputar diafragma
Lensa ini punya bukaan maksimal hanya f/4 di posisi 55mm dan mengecil hingga batas kritis f/5.6 di posisi 200mm. Kabar baiknya, dengan posisi zoom-out di 55mm, bukaan maksimum lensa ini yang f/4 ini masih lebih besar daripada posisi zoom-in di 55mm pada lensa kit (yang hanya mampu membuka di f/5.6). Seperti halnya lensa lain, ketajaman maksimal didapat di rentang f/8 hingga f/11, meski pada bukaan maksimal pun ketajaman lensa ini masih amat baik. Lensa inipun tajam pada seluruh panjang fokal, dengan sedikit adanya penurunan ketajaman di posisi tele maksimal 200mm (masih dalam batas toleransi). Bandingkan dengan lensa Sigma 70-300mm yang pada posisi  200mm keatas sudah mengalami penurunan ketajaman yang amat nyata dan hasil fotonya amat soft. Untuk mengetahui batas difraksi lensa ini gunakan bukaan kecil diatas f/16 dan penurunan ketajaman tampak semakin nyata pada f/22.
Pengujian ketajaman lensa
Berikut adalah contoh foto yang diambil memakai lensa ini (dengan kamera Nikon D40 tentunya).
Pengujian pertama adalah melihat ketajaman di posisi zoom out 55mm (f/4) dan zoom in 200mm (f/5.6). Dua foto dibawah ini menggambarkan betapa di kedua posisi ini tampak ketajaman yang baik berhasil ditampilkan oleh lensa ini.

Posisi zoom-out 55mm f/4
Posisi zoom-out 55mm f/4


Posisi zoom-in di 200mm, f/5.6
Posisi zoom-in di 200mm, f/5.6

Pengujian kedua adalah membandingkan efek bukaan terhadap ketajaman, dimana tes pertama menunjukkan lensa pada bukaan f/5.6 dan tes berikutnya mencoba mengenali difraksi pada bukaan f/22.
Foto berikut adalah contoh bukaan f/5.6, tampak background begitu blur karena memakai bukaan besar, sementara dedaunan di depan tampak tajam.

Bukaan besar (f/5.6)
Bukaan besar (f/5.6)

Ini adalah 100% crop dari foto diatas, tampak dedaunan amat tajam sementara background begitu out-of-focus, sehingga isolasi objek berhasil dilakukan.

100% crop (f/5.6)
100% crop (f/5.6)

Foto berikut adalah contoh bukaan f/22, tampak background masih cukup jelas karena memakai bukaan kecil.

Bukaan kecil (f/22)
Bukaan kecil (f/22)

Ini adalah 100% crop dari foto diatas, tampak dedaunan sudah berkurang ketajamannya karena difraksi lensa,  sementara background tampak masih cukup jelas.

100% crop (f/22)
100% crop (f/22)

Dari pengujian di atas dapat disimpulkan bahwa ketajaman optik lensa ini amat baik mulai dari 55mm hingga 200mm, dengan sedikit adanya penurunan ketajaman pada posisi tele maksimum 200mm. Pada bukaan kecil memang nyata dijumpai softness akibat difraksi, dimana hal ini adalah fenomena fisika yang wajar untuk lensa apapun. Setidaknya fotografer diberi pilihan untuk memakai bukaan besar bila perlu isolasi objek, atau bukaan kecil untuk DoF yang lebar.
Kekurangan
Adapun kekurangan optik dari lensa ini tampaknya masih dapat diterima, bahkan beberapa masih dapat diabaikan. Faktor distorsi amat sangat minim, corner softness pun masih dalam batas wajar, bahkan lensa ini mampu menghandel fringing dengan baik (apalagi bila stop down dari bukaan maksimum). Contoh berikut menunjukkan betapa minimnya fringing pada f/4.

Fringing at f/4
Fringing at f/4

Dua hal yang saya akui cukup merepotkan adalah pengujian manual fokus dan pengujian makro. Manual fokus ring pada lensa ini memang tidak presisi dan untuk memotret makro jarak lensa dan objek setidaknya harus ada satu meter (bila kurang dari itu tidak akan didapat fokus yang tepat). Kemampuan reproduksi rasio yang cuma 1:4.3 juga menunjukkan betapa lensa ini memang tidak ditujukan untuk keperluan makro, saya bahkan lebih mudah memotret makro memakai lensa kit 18-55mm.

Manual fokus dan bokeh
Manual fokus dan bokeh


Macro, 200mm, f/8 crop and resize
Macro, 200mm, f/8 crop and resize

Kesimpulan
Demikianlah review lensa tele ekonomis ini saya buat, dimana kesimpulannya adalah Nikon berhasil membuat lensa murah yang punya kualitas optik yang tidak kalah baiknya dengan lensa yang lebih mahal, meski tentu terdapat kompromi dalam hal material plastik, kecepatan motor SWM dan VRnya. Dengan harga 2,5 juta anda sudah bisa mendapat lensa tele yang cukup untuk mendukung kegiatan fotografi sehari-hari, dengan bonus sistem VR, lensa ED, motor SWM, lens hood dan grip zoom ring yang nyaman. Lensa ini tentu tidak untuk mereka yang sering memotret di tempat kurang cahaya (gunakan saja AF-S 70-200mm atau AF 80-200mm), tidak juga untuk mereka yang perlu motor AF eksta cepat, atau mereka yang menyukai manual fokus dan/atau pecinta macro.

SEMOGA BERMANFAAT GAN! :)